Oleh : Jeffrey Lim, B.Comp, M.C.S
Perenungan bagian satu membahas ketika mengalami Trauma kita menatap kepada Allah. Perenungan bagian dua membahas ketika mengalami Trauma kita meratap kepada Allah Bagian ketiga membahas bahwa relasi dikasihi dan mengasihi dengan sesama itu memulihkan. Bagian ketiga ini disadur dari buku Terang Allah ditengah kegelapan – Jeffrey Lim dari Bab ke 18. Mari kita mulai perenungan ini !
Manusia diciptakan Tuhan di dalam konteks relasional.Kita hidup bukan untuk diri sendiri, melainkan dipanggil untuk berkomunitas dan saling mengasihi satu sama lain. Manusia adalah makhluk relasional karena diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, yang meski Satu Hakikat, tetapi terdiri dari Tiga Pribadi yang saling mengasihi. Karena itu, manusia yang merupakan gambar Allah diciptakan untuk mengasihi dan menerima kasih.
Untuk mengatasi masalah pergumulan mental, ada macam-macam terapi psikologi menjadi cara yang digunakan untuk menolong penderitanya untuk lebih pulih dari pergumulan ini. Ada terapi yang difokuskan pada cara-cara untuk mengubah pikiran seperti CBT (Cognitive Behavioral Therapy). Ada terapi yang mempraktekkan mindfulness, di mana seseorang terus mengobservasi pikirannya sendiri tanpa menghakimi dan dengan menjaga jarak dengan pikirannya. Ada pula terapi dengan metode psikoanalisa, di mana klien mencari akar permasalahannya dari pengalaman masa lampaunya. Yang lainnya adalah terapi medis menggunakan obat-obat psikiatris.
Kepribadian manusia itu dibentuk baik secara genetik – dari pembawaan alamiah maupun dari proses pembentukan lingkungan. Pribadi kita juga dibentuk dari perbuatan orang lain kepada kita serta respons kita terhadapnya. Sebagai contoh, ketika seseorang mendapat kekerasan terutama pada masa kecil, itu dapat membuatnya mengalami Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) atau gangguan stres pascatrauma. Gangguan stres pascatrauma ini memicu rekaman tentang kenangan pahit dan kekerasan yang pernah terjadi muncul kembali. Inilah yang kemudian mengakibatkan munculnya kecemasan terus menerus
pada diri penderitanya pada masa sekarang.
Ketika seseorang memiliki pengalaman yang sulit dan traumatik pada masa lampau yang mengakibatkan depresi pada masa kini, dapatkah pengalaman traumatik itu pulih pada kemudian hari? Hasil riset dari neuroscience menemukan bahwa otak manusia dapat di-rewire atau diperbaiki. Otak manusia sebenarnya bukannya tidak dapat berubah. Itu bisa berubah dan diubah. Satu hal lagi fakta yang menarik adalah bahwa otak manusia tidak berdiri sendiri, tetapi bersifat relasional. Manusia diciptakan untuk saling terhubung satu sama lain.
Dalam buku Beautiful Risk yang ditulis Jim Olthius, diceritakan ada seorang perempuan yang sering merasa cemas dan merasakan sensasi panas terbakar pada tubuhnya, bahkan saat musim dingin. Dalam proses konseling antara Jim Olthius dengan perempuan tersebut, Jim mengumpulkan data-data mengenai latar belakang kehidupan kliennya itu. Dari sana, ia mendapat cerita bahwa ibu dari sang klien itu pernah hendak melakukan tindakan aborsi ketika sedang mengandung. Setelah mengetahui fakta tersebut, kliennya akhirnya menyadari bahwa semua perasaan cemas dan sensasi terbakar yang dialaminya merupakan pengalaman traumatis akibat perbuatan ibunya. Dan, ketika dirinya mampu menyadari dan terhubung dengan pengalaman tersebut serta mengampuni ibunya, perempuan itu mulai dipulihkan dari masalahnya.
Saya sendiri makin menyadari bahwa kemungkinan penyebab dari gangguan mental yang saya alami adalah karena waktu kecil saya sering mengalami pengalaman Traumatik. Faktor lain yang mungkin menjadi penyebab adalah kondisi stres yang dialami Mama ketika sedang mengandung saya serta situasi konflik dalam keluarga karena Papa mengalami stres akibat tekanan kerja di pabrik. Selain itu, saya juga diasuh oleh suster yang sering mengalami kondisi stres, histeris, bahkan sampai kerasukan setan. Semua fakta tersebut membuat saya dapat memahami pencetus dari gangguan skizoafektif yang saya alami saat ini. Akan tetapi, saya percaya bahwa semua itu tidak berhenti hanya sampai di sini. Masih ada banyak anugerah Tuhan yang saya alami.
Proses menemukan fakta dari masa lampau itu melibatkan relasi dan komunikasi intens, terutama dengan Mama saya. Dengan memahami latar belakang dari masa lampau saya yang penuh pergumulan dan kemudian menjaga jarak secara psikologis dari ingatan masa lampau, saya sedang membangun kesadaran bahwa yang terjadi pada masa lampau itu tidak terjadi pada masa sekarang. Metode mindfulness ini membantu kesembuhan dalam gangguan mental yang saya alami. Akan tetapi, salah satu faktor yang paling membantu di dalam proses penyembuhan tersebut adalah saat saya berani membuka diri kepada orang-orang terkasih dan menceritakan pengalaman yang saya alami, baik pengalaman yang bersifat traumatik maupun pergumulan dosa yang saya perbuat. Dalam anugerah Tuhan, saya pun diberikan keberanian untuk bersikap terbuka kepada beberapa hamba Tuhan, seperti Pdt. Joshua Lie, Pdt. Yung Tik Yuk, Pdt. Stephen Tong, serta kepada banyak teman di Institut Reformed.
Ketika menceritakan masa lampau saya kepada istri serta berbagi hidup dengan orang-orang yang mengasihi saya, sebenarnya saya sedang mengambil risiko yang indah. Risiko itu sebenarnya berbahaya karena saya bisa saja ditolak, dilecehkan, atau dihina. Akan tetapi, risiko itu juga memiliki kemungkinan untuk mendatangkan pemulihan yang besar. Manusia memang mempunyai kebutuhan untuk dikenal dan dikasihi, sekaligus untuk mengasihi dan mengenal yang lain. Ketika teman-teman maupun saudara-saudari saya berempati dan memiliki pengertian atas pengalaman yang saya miliki, itu membuat otak saya di-rewire atau diperbaiki kembali.
Tatapan mata, pengertian, kata-kata, serta bahasa tubuh dari orang-orang yang mengasihi saya ternyata berhasil membuat rekaman ingatan pada masa lampau dibentuk ulang menurut interpretasi yang baru. Saya kemudian mampu membuat perspektif baru terhadap masa lampau. Dan, ketika trauma masa lampau tersebut sudah diceritakan kepada orang-orang terkasih, intensitas penderitaan akibat trauma itu semakin lama semakin berkurang. Saya makin merasa itu sudah terjadi pada masa lampau dan tidak ada lagi hak untuk mengganggu saya pada masa sekarang. Bahkan, jika ingatan traumatik itu masih menganggu saya, saya dapat mencoba mengondisikan bahwa hal itu sudah berlalu dan hanya merupakan bagian dari masa lampau saya. Respons yang saya peroleh dari orang-orang yang mengasihi saya ketika berbagi pengalaman traumatik itu juga kian memulihkan saya. Inilah satu pengalaman indah yang dapat kita peroleh ketika kita saling mengasihi.
“Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi ia bersukacita karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. Kasih tidak berkesudahan; nubuat akan berakhir; bahasa roh akan berhenti; pengetahuan akan lenyap.” (1 Korintus 13:4-8)
Kasih sungguh berkuasa untuk memulihkan kehidupan!