Oleh : Jeffrey Lim, B.Comp, M.C.S
Dalam perenungan pertama sudah dibahas bahwa ketika seseorang mengalami trauma yang dalam, dirinya dapat mengalami disasosiasi ingatan dan shutdown. Dalam situasi ini, seseorang berada di dalam mode survival, di mana dia sudah tidak bisa mengenali waktu, dirinya, dan perasaannya sendiri. Inilah yang terjadi ketika seseorang mengalami trauma yang hebat.
Ada bagian otak manusia yang memberikan alarm warning kepada tubuh kita. Bagian yang disebut sebagai amygdala ini berfungsi melepaskan hormon stres, termasuk adrenalin dan kortisol, yang meningkatkan detak jantung, tekanan darah, dan juga pernafasan guna mempersiapkan kita melawan atau melarikan diri. Ketika seseorang mengalami trauma yang dalam, alarm bagian ini ternyata masih akan terus mengirimkan sinyal-sinyal bahaya, yang membuat perasaan dan fisik penderita trauma terganggu.
Ada bagian otak manusia juga yang mengontrol respons stres. Jika amygdala itu berfungsi seperti alarm maka bagian frontal lobes, terutama Medial Prefrontal Cortex (MPFC), yang terletak di atas mata kita, berfungsi sebagai menara penjaga untuk mengontrol stres yang memberikan pandangan dari atas.
Alarm kebakaran, sebagai metafora dari amygdala, berfungsi menjaga jika terjadi kebakaran rumah. Bagian ini tidak membuat perhitungan dan analisa, melainkan hanya membuat kita siap untuk fight atau flight.
Menara penjaga (watchtower) sebagai metafora dari Medial Prefrontal Cortex berfungsi menganalisa apa yang terjadi, memilah, mampu menenangkan diri kita, serta mempunyai pemahaman objektif mengenai pikiran, perasaan, serta kehendak kita. Menara penjaga ini berfungsi menjaga relasi kita dengan orang lain sehingga kita dapat memahami perasaan dan mengenali emosi orang lain.
Ketika seseorang mengalami gangguan trauma, seperti metafora keseimbangan alarm kebakaran dengan menara penjaga menjadi terganggu.Pembelajaran dari neuroimaging menyatakan bahwa ketika seseorang mengalami gangguan trauma yang hebat, ketika emosi, perasaan, ketakutan, kemarahan, perasaan malu sedang menguasai penderita trauma, bagian ini mengurangi aktivitas otak pada bagian yang berfungsi untuk menempatkan perasaan ke dalam kata-kata, memilah apa yang terjadi dalam dirinya dan mengembangkan kesadaran akan waktu.
Selama trauma tidak diselesaikan maka hormon stres terus berputar dan respons emosi serta pergerakan defensif terus berputar. Ini berarti seperti alarm kebakarannya sudah korslet. Peristiwa yang mengancam dan berbahaya sudah lewat namun stres, emosi dan sensasi yang berkaitan dengan trauma masih terus berlanjut.
Penelitian ilmiah memberikan kita wawasan penyebab seseorang bisa pulih dari trauma, yaitu saat ia sadar sepenuhnya dan hadir pada masa kini. Namun, survival mode di dalam diri kita ketika mengalami trauma adalah ingin menekan cerita dan perasaan yang dialami sehingga tidak muncul ke permukaan alam sadar.
Tentu tidak mudah bagi seseorang, misalnya yang mengalami pemerkosaan, perang atau tindakan kekerasan lainnya, untuk mengakses ingatannya secara online pada masa kini. Perasaan kacau balau yang terfragmentasi akan berseliweran di dalam pikirannya. Banyak orang yang mengalami trauma sampai tidak mampu mengingat apa yang telah terjadi secara utuh. Mereka hanya mengingat secara parsial kejadian dan emosi yang dialami saat peristiwa itu terjadi. Menara penjaga di dalam otak mereka tidak dapat mengenali dan menganalisa secara objektif apa yang terjadi, bahkan untuk mengenali bahasa dari perasaan mereka sendiri.
Dari pengalaman pribadi, saya menemukan 2 hal yang akan sangat menolong kita dalam menghadapi atau mengatasi trauma.
Yang pertama adalah praktik rohani meratap, yaitu suatu praktik yang banyak dilakukan oleh pemazmur di dalam Alkitab.
Mengapa?
Sebab, saat kita sulit menceritakan masalah kita, sulit mengenali emosi kita, sulit menjadi objektif untuk memahami apa yang terjadi, bahkan saat kita lupa mengenai masalah kita, dan ketika sistem alarm kita masih menyala. Kita secara sadar, fully online, berada di hadapan Allah yang Maha Tahu dan Maha Hadir. Kita berdiam di hadapan Dia yang mengenal dan mengasihi kita. Dan, saat kita belajar mencurahkan isi hati kita, kita dapat mulai mengenali emosi-emosi kita. Kita mulai bisa memberi label untuk segala emosi yang kita alami. Kita dengan jujur mengakui perasaan-perasaan kita apakah itu marah, apakah itu benci, apakah itu sedih, takut, kecewa, kuatir, depresi, malu, dsb. Kemampuan untuk mengenali dan melabel segala emosi yang kita alami memungkinkan kita semakin lebih mempunyai kendali atas penderitaan trauma yang kita alami. Kita juga mendapatkan penghiburan dari Tuhan ketika berdoa. Dan, praktik meratap serta mencurahkan isi hati kepada Tuhan ini akan me-rewiring otak kita dan membuat kita menjadi lebih pulih. Ketika berdoa, Roh Kudus juga akan menolong kita di dalam kelemahan kita. Kesadaran Tuhan bersama kita dengan kasihNya membuat kita lebih tenang.
Hal ini bukan berarti penderitaan akan menjadi lenyap. Akan tetapi, ketika kita mulai mengenali pikiran dan perasaan diri, serta menempatkannya pada perspektif Tuhan dan kerajaan-Nya, semuanya itu akan ditata kembali dan memungkinkan kita untuk dapat lebih mengalami damai sejahtera sebab kita punya iman, pengharapan dan hidup di dalam kasih Tuhan. Kita percaya Tuhan itu baik. Kita percaya Tuhan, Sang Kasih, sudah memberikan hidup-Nya bagi kita. Kita percaya penyertaan Roh-Nya. Kita percaya bahwa segala sesuatu akan mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihiNya. Karena itu, ini merupakan satu pengharapan.
Praktik rohani untuk bercerita, curhat, berdoa bahkan meratap kepada Tuhan yang merupakan praktik kuno dalam masa Perjanjian Lama ternyata obat yang sering kali dilupakan pada zaman kini. Padahal saya percaya, disitulah terletak pemulihan dari keutuhan diri kita guna menghadapi trauma.
“Percayalah kepada-Nya setiap waktu, hai umat, curahkanlah isi hatimu di hadapan-Nya; Allah ialah tempat perlindungan kita. Sela.” (Mazmur 62:9)
Hal kedua yang saya temukan menolong adalah berbagi cerita terbuka dengan sesama.
Namun, bagian ini akan kita bahas dalam tulisan selanjutnya.
Bersambung…